Seekor harimau jantan dan betina terbaring tanpa nyawa. Tubuh mereka saling memeluk, seperti masih berusaha menghangatkan satu sama lain meski dingin kematian telah menyelimuti.
Mereka bukan hanya sepasang kekasih. Mereka adalah sepasang orang tua. Di balik semak-semak, di gua kecil yang tersembunyi, anak mereka menunggu. Seekor harimau kecil dengan garis-garis loreng yang belum sempurna. Ia lapar. Ia takut. Tapi lebih dari itu, ia rindu.
Rindu pada ibunya yang biasa menjilat bulunya hingga tertidur. Rindu pada ayahnya yang mengaum keras untuk menakut-nakuti monyet-monyet nakal yang mendekat terlalu dekat. Namun malam ini sunyi. Tak ada langkah kaki. Tak ada bayangan besar yang mendekat. Hanya angin yang membawa aroma darah dan logam.
“Maafkan kami, Nak…” bisik sang ibu dalam doa terakhirnya yang tak terdengar. “Kami hanya ingin mencarikanmu makan.”
“Maafkan kami…” lirih sang ayah. “Ayah tak bisa menjagamu lebih lama. Tak bisa mengajarkanmu cara berburu. Tak bisa menunjukkanmu jejak-jejak rimba.”
Mereka tidak mati karena tua. Mereka tidak mati karena kalah berkelahi. Mereka mati karena jerat—tali berduri yang dipasang manusia demi ambisi. Meninggalkan luka yang bukan hanya di tubuh, tapi juga di alam.
Beberapa meter dari tubuh mereka, seorang petugas berdiri terdiam. Ia bukan pemburu. Ia datang terlambat, hanya bisa menyaksikan akhir dari kisah yang seharusnya belum selesai. Matanya memerah. Bibirnya terkatup rapat. Ia tahu, hutan kehilangan dua penjaganya hari ini.
Dan di tengah semak yang lembap, seekor anak harimau mengangkat kepalanya, menatap ke langit yang mendung. Ia mengaum—pelan, rapuh—sebuah tangisan tanpa bahasa. Ia belum tahu, malam ini ia menjadi yatim piatu. Dan dunia kehilangan sedikit lagi dari keajaibannya.
Untuk pemburu yang memasang jerat itu, tahukah kau?
Yang kau ambil bukan hanya dua nyawa. Tapi juga harapan. Warisan. Dan suara alam yang kini sedikit lebih sunyi.
Post a Comment